Provinsi Jambi Di Pulau Mana

Jambi merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera, tepatnya di pesisir timur Sumatera bagian tengah. Letaknya strategis karena dekat dengan Selat Malaka dan berhadapan dengan Selat Karimata serta Selat Berhala.

Jambi juga berada pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan lalu lintas internasional. Dengan posisi tersebut, wilayah Jambi memiliki keunggulan komparatif jika dibanding dengan provinsi lain di Pulau Sumatera.

Provinsi ini genap berusia 63 tahun pada tahun 2020. Daerah yang memiliki semboyan “Spucuk Jambi, Sembilan Lurah” ini dibentuk pada tanggal 6 Januari 1957 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.

Tanggal 6 Januari 1957 tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Jambi, seperti tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.

Sebelum berdiri secara otonom, Jambi merupakan salah satu keresidenan di Provinsi Sumatera Tengah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah.

Satu tahun kemudian provinsi ini dihapus berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 dan dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Lalu, Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 mengukuhkan UU Darurat tersebut, dan sejak tahun 1957 pusat pemerintahan Provinsi Jambi berada di Kota Jambi.

Provinsi Jambi terdiri dari 9 kabupaten, 2 kota, 141 kecamatan, dan 1.562 kelurahan/kota. Dengan luas 50.160,05 kilometer persegi, daerah ini dihuni oleh 3,62 juta penduduk pada tahun 2019.

Perjalanan sejarah Provinsi Jambi cukup panjang. Disebutkan dalam buku Sejarah Sosial Jambi, Jambi Sebagai Kota Dagang, wilayah Jambi telah memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia sejak masa prasejarah itu.

Peninggalan batu megalith yang tersebar di berbagai tempat, antara lain di Merangin dan Kerinci, menjadi bukti masa itu. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen, batu bergambar, tempayan kubur, dan budaya batu besar lainnya. Peninggalan budaya prasejarah tersebut diperkirakan berlangsung pada 840–1120 Masehi.

Pada awal abad ketujuh, sebuah Kerajaan Melayu Tua muncul di dekat muara Sungai Batanghari. Berita pertama mengenai keberadaan Kerajaan Melayu Kuno itu didapat dari catatan Dinasti Tang, yaitu mengenai datangnya utusan dari daerah Mo-Lo-Yeu di China tahun 644 dan 645 Masehi. Nama daerah ini dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, yang pusatnya berlokasi di sekitar Jambi.

Kerajaan tersebut menguasai pelabuhan tua di muara sungai yang kemudian menjadi tempat berkembang pesatnya perdagangan, hingga mampu menarik perhatian kerajaan besar Sriwijaya di Palembang. Kerajaan inilah yang kemudian pada tahun 686 menaklukkan Kerajaan Melayu Tua dan menguasai pelabuhannya.

Agama Islam baru masuk ke Jambi pada abad ke-16, bersamaan dengan kedatangan Belanda di daerah ini. Pada tahun 1616, perusahaan Belanda The Dutch East India Company membuka kantornya di Jambi yang kemudian membuat kerja sama dagang dengan penguasa Melayu Sultan Muhammad Nakhruddin.

Pada masa itu, Belanda juga berhasil mendapatkan hak monopoli dalam perdagangan lada yang banyak dihasilkan dari wilayah Jambi, dan pada tahun 1901 Belanda memindahkan kantor dagangnya ke Palembang, Sumatera Selatan dan melepaskan pengawasannya atas Jambi.

Pada akhir abad ke-19, di wilayah Jambi terdapat Kerajaan atau Kesultanan Jambi. Tahun 1855, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Pada saat Belanda mulai menduduki Kesultanan Jambi, tepatnya tahun 1858, Sultan Thaha menyingkir dari keraton dan melakukan perang gerilya. Dia gugur dalam perang melawan penjajah tahun 1904.

Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Ia dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Ia adalah sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M Fachrudin dengan gelar Sultan Kramat.

Dengan berakhirnya masa Kesultanan Jambi, menyusul gugurnya Sultan Thaha Syaifuddin tanggal 27 April 1904, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Tahun 1906, Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi.

Jambi yang sebelumnya ditangani oleh Keresidenan Palembang, menjadi keresidenan tersendiri. Sebagai residen Jambi yang pertama adalah OL Helfrich, sebelumnya dia menjabat sebagai Asisten Residen Palembang.

Susunan pemerintahan Jambi pada zaman Belanda masih memperhatikan susunan adat seperti di zaman kesultanan, namun disesuaikan dengan politik jajahannya. Pemerintahan Jambi di era penjajahan Belanda berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen-Kontrolir-Demang-Asisten Demang-Kepala Adat/Pasirah-Penghulu/Kepala Dusun-Rakyat.

Rakyat Jambi tidak sepenuhnya mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya perlawanan, yaitu Perang Sarikat Abang yang terjadi pada tahun 1916. Perlawanan ini dapat dihentikan oleh Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Tokoh-tokoh perlawanan tersebut kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusakambangan.

Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak rakyat dengan mengadakan pembatasan-pembatasan berbagai kegiatan perkumpulan dan organisasi politik. Akibatnya, semua perkumpulan dan organisasi politik vakum dan akhirnya mati. Jambi, akhirnya menjadi daerah yang kosong dari organisasi politik.

Larangan Belanda tersebut ternyata tidak hanya pada organisasi politik, melainkan melebar pada dunia pendidikan. Belanda melarang rakyat Jambi untuk bersekolah atau mendirikan sekolah. Setelah beberapa tokoh memperjuangkan pendirian sekolah, seperti yang dilakukan oleh H Nawawi, HM Chatib, akhirnya beberapa sekolah berdiri, namun dengan pengawasan yang ketat.

Kekuasaan Belanda atas Jambi berlangsung kurang lebih 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Situs Candi Muaro Jambi—Pengunjung melihat Candi Tinggi di Kompleks Situs Candi Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sabtu (10/11/2012). Kompleks situs ini luasnya sekitar 17,5 kilometer persegi dan diperkirakan ada sekitar 110 buah candi. Situs Muaro Jambi yang diperkirakan dibangun sejak abad ke-4 hingga ke-11 Masehi ini menjadi tempat pengembangan ajaran Budha pada masa Melayu Kuno. Situs ini kini terancam perusakan oleh tambang batu bara dan industri pengolahan minyak sawit.

Pada masa penjajahan Jepang, rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang akan memberi kemakmuran. Namun, janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan. Alih-alih menyejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam ketika itu.

Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945.

Pada awal kemerdekaan, Sumatera masih menjadi satu provinsi, yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibu kotanya. Ketika itu, Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai Gubernur Sumatera.

Pada tanggal 18 April 1946, Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga subprovinsi, yaitu sub-Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.

Sub-Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau, dan Jambi. Tarik-menarik keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-subprovinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian, dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948, ditetapkan sebagai provinsi.

Dengan UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Keresidenan Jambi saat itu terdiri dari dua kabupaten dan satu Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko; dan Kabupaten Batanghari yang terdiri dari Kewedanan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal.

Pada tanggal 9 Agustus 1957, Presiden Soekarno menandatangani UU Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Dengan UU Nomor 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958, UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi, dan Riau ditetapkan sebagai undang-undang.

Dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 disebutkan, daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir.

Pada tanggal 30 Desember 1958, pejabat gubernur meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW).

Provinsi Jambi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112), yang terdiri dari 5 Kabupaten dan 1 Kota. Pada tahun 1999, dilakukan pemekaran terhadap beberapa wilayah administratif di Provinsi Jambi melalui Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Selanjutnya melalui Undang-undang nomor 25 tahun 2008, tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh, sehingga sampai tahun 2010, secara administratif Provinsi Jambi menjadi 9 Kabupaten dan 2 Kota.

Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2011, maka Gubernur juga berkewajiban menyampaikan informasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Instansi Vertikal yang berada pada wilayah Pemerintah Provinsi Jambi.

Letak Wilayah dan Topografi

Secara geografis Provinsi Jambi terletak pada 0o45’-2o45’ Lintang Selatan dan 101o10’-104o55’ Bujur Timur di bagian tengah Pulau Sumatera, sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan Provinsi Kepulauan Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Posisi Provinsi Jambi cukup strategis karena langsung berhadapan dengan kawasan pertumbuhan ekonomi yaitu IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle). Luas wilayah Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1957, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112) adalah seluas 53.435,72 km2 dengan luas daratan 50.160,05 km2 dan luas perairan 3.274,95 Km2 yang terdiri atas :

Secara administratif, jumlah kecamatan dan desa/kelurahan di Provinsi Jambi tahun 2010 sebanyak 131 Kecamatan dan 1.372 Desa/Kelurahan, dimana jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan terbanyak di Kabupaten Merangin yaitu 24 Kecamatan dan 212 Desa/Kelurahan.

Secara topografis, Provinsi Jambi terdiri atas 3 (tiga) kelompok variasi ketinggian (Bappeda, 2010):

1. Daerah dataran rendah 0-100 m (69,1%), berada di wilayah timur sampai tengah. Daerah dataran rendah ini terdapat di Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebagian Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.

2. Daerah dataran dengan ketinggian sedang 100-500 m (16,4%), pada wilayah tengah. Daerah dengan ketinggian sedang ini terdapat di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin serta sebagian Kabupaten Batanghari; dan

3. Daerah dataran tinggi >500 m (14,5%), pada wilayah barat. Daerah pegunungan ini terdapat di Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh serta sebagian Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.

Provinsi Jambi memiliki topografi wilayah yang bervariasi mulai dari ketinggian 0 meter dpl di bagian timur sampai pada ketingian di atas 1.000 meter dpl, ke arah barat morfologi lahannya semakin tinggi dimana di bagian barat merupakan kawasan pegunungan Bukit Barisan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Provinsi Jambi sebagai salah satu Provinsi di Sumatera yang terkenal dengan iklim tropis dan kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, namun juga tetap menjadi kerentanan terjadi perubahan iklim. Gejala perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan intensitas dan periode hujan, pergeseran musim hujan/kemarau, dan kenaikan muka air laut, akan mengancam daya dukung lingkungan dan kegiatan seluruh sektor pembangunan.

Sepanjang tahun 2011, Provinsi Jambi memiliki karakteristik curah hujan sedang dan lembab, sehingga Jambi termasuk daerah yang beriklim tropis. Rata-rata curah hujan pada tahun 2010 mencapai 3.030 mm, sedangkan jumlah penyinaran matahari 4,2 jam perhari dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 97%. Suhu udara rata-rata mencapai 27 derajat Celsius, sedangkan untuk dataran tinggi di Wilayah Barat mencapai 22 derajat celcius.

Di luar hutan, penggunaan lahan Provinsi Jambi masih didominasi oleh perkebunan karet dengan kontribusi sebesar 26,20%. Diikuti oleh perkebunan sawit sebanyak 19,22%. Sebagian besar lahan di Provinsi Jambi digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian, baik pertanian lahan sawah maupun pertanian lahan bukan sawah. Berdasarkan karakter komplek ekologinya, perkembangan kawasan budidaya khususnya untuk pertanian terbagi atas tiga daerah yaitu kelompok ekologi hulu, tengah dan hilir. Masing-masing memiliki karakter khusus, dimana pada komplek ekologi hulu merupakan daerah yang terdapat kawasan lindung, ekologi tengah merupakan kawasan budidaya dengan ragam kegiatan yang sangat bervariasi dan komplek ekologi hilir merupakan kawasan budidaya dengan penerapan teknologi tata air untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau Iingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan strategis nasional yang berada di Provinsi Jambi ditetapkan dengan pertimbangan dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Adapun Kawasan Strategis Nasional yang termasuk dalam kawasan wilayah Provinsi Jambi meliputi :

1. Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan)

2. Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)

3. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau)

4. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi)

Menurut BPS (2010), penduduk Provinsi Jambi tahun 2010 berjumlah 3.092.265 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata sebesar 61,65 jiwa/km2 kecuali Kota Jambi sebesar 2.588,99 jiwa/km2 dan Kota Sungai Penuh sebesar 210,20 jiwa/km2. Sebagaimana karakter ibukota Provinsi pada umumnya yaitu sebagai pusat pemerintahan, industri dan perdagangan, maka Kota Jambi juga merupakan daerah tujuan arus migrasi.

Dilihat dari posisi kewilayahan barat dan timur, maka prosentase distribusi penduduk di kedua wilayah tersebut terlihat relative seimbang, yaitu 52% untuk wilayah timur (Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kota Jambi), dan 48% untuk wilayah barat (Kerinci, Sungai Penuh, Merangin, Sarolangun, Bungo dan Tebo).

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Indonesia adalah negara kepulauan terbanyak di dunia. Diantaranya terdapat sekitar 17.508 (Tujuh belas ribu lima ratus delapan) pulau yang termasuk dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. di mana 16.056 pulau telah dibakukan namanya di PBB hingga Juli 2017.[1][2]

Pada tahun 2017, terdapat kontroversi di tengah publik ketika ada puluhan pulau yang dimiliki secara pribadi oleh warga negara asing yang bahkan berani mengusir warga sekitar untuk mengunjungi pulau-pulau privat tersebut yang beberapa diantaranya terletak di Karimunjawa & Kepulauan Seribu,[3][4][5] akan tetapi temuan ini tidak ditindak serius oleh pemerintah.[6]

Secara umum pengelompokan Pulau di Indonesia sudah ada sejak masa Majapahit dengan mengikuti istilah "Mandala" (8 arah mataangin yang dijaga dewata). Mandala 1 Jawa, Mandala 2 Sumatera, Mandala 3 Kalimantan, Mandala 4 Nusa Tenggara, Mandala 5 Sulawesi, Mandala 6 Maluku, Mandala 7 Papua dan Mandala 8 adalah Kepulauan di Timur Sumatera (termasuk juga Malaya saat era kekuasaan Majapahit).

Tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memublikasikan sebanyak 6.127 nama pulau-pulau di Indonesia.[butuh rujukan] Pada tahun 1987 Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 17.503, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama, termasuk 337 nama pulau di sungai.[butuh rujukan] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia yang mencatat sebanyak 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai.[butuh rujukan] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 buah.[butuh rujukan]

Data Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada tahun 2004 menyatakan bahwa 7.872 pulau yang bernama, sedangkan 9.636 pulau tak bernama[butuh rujukan]

Dari sekian banyaknya pulau-pulau di Indonesia, yang berpenghuni hanya sekitar 8.000 pulau.

Di bawah ini disajikan pulau-pulau utama Indonesia:

Klik nama provinsi untuk langsung menuju ke bagian tentang provinsi bersangkutan.

Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.508 buah. 7.872 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama.

Sumber: Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia [6] Diarsipkan 2009-09-09 di Wayback Machine.

Pulau pulau kecil di sekitar pulau sumatra:

Halaman ini memuat daftar pulau dan kepulauan di Pulau Jawa. Daftar ini tidak dimaksudkan sebagai suatu daftar yang lengkap atau selalu terbarui. Jika Anda melihat artikel yang seharusnya tercantum di sini, silakan sunting halaman ini dan tambahkan pranala ke artikel tersebut. Gunakan perubahan terkait untuk melihat perubahan terbaru dari artikel-artikel yang tercantum pada halaman ini.

Daftar pulau di Kalimantan

Templat:Col-css3-begin

Templat:Col-css3-begin

Templat:Col-css3-begin

Templat:Col-css3-begin

Templat:Col-css3-begin

Templat:Col-css3-begin

Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, provinsi ini memiliki 3.023 pulau diantaranya:Templat:Col-css3-begin

Templat:Col-css3-begin

Provinsi Papua Pegunungan merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang terkurung oleh daratan, sehingga menempatkannya sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak memiliki pulau.

Templat:Col-css3-begin

Templat:Wikisource Templat:Topik Indonesia Templat:Topik Asia

Wakil Ketua DPRD Prov. Jambi